Pada suatu hari ada seorang anak dan Ayahnya yang sedang mengobrol di depan rumah. Saat itu, sang Ayah sedang duduk santai di atas kursi depan rumah sambil membaca koran sedangkan si anak sedang memperbaiki motornya yang agak rusak. Seketika itu sang Ayah bertanya kepada anaknya, “nak, kamu lihat burung di atas pohon itu tidak? Burung apa itu nak?”. Lalu si anak menjawab, “oh, itu namanya burung gagak Yah..” dan si anak pun melanjutkan memperbaiki motornya. Kemudian sang Ayah bertanya lagi “apa nak? Apa nama burungnya? ayah lupa”. Dan si anak menjawab “burung gagak, Ayah”. Kemudian sang Ayah bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama “apa nak namanya, ayah lupa lagi”. dan si anak menjawab pertanyaan ayahnya dengan nada yang mulai agak keras “gagak ayah. GAGAK!”. Sang Ayah masih tetap bertanya dengan pertanyaan yang sama “apa nak haduuuh Ayah lupa lagi nak”. Dan si anak pun menjawab “G-A-G-A-K, Ayah, GAGAAAAK!!!”. Melihat anaknya yang mulai kesal sang Ayah memutuskan bertanya untuk terakhir kalinya, “apa nak? Ayah lupa”. Dan seketika itu si anak menjawab “ ih, si Ayah nih kenapa sih? Ayah, dibilangin dari tadi gagak, ya gagak. Ayah ini udah pikun ya. Buat pertanyaan yang sama ko’ sampai ratusan sih”.
Sang Ayah pun melihat mata anaknya dalam – dalam. Tanpa mengucapkan apa – apa sang Ayah masuk kedalam rumah. Beberapa detik setelah itu, sang Ayah kembali ke depan rumah sambil membawa sebuah buku yang ternyata buku itu adalah diary Ayah tentang anaknya saat masih kecil dulu. Sang Ayah kemudian memanggil anaknya untuk duduk berdampingan dengan dirinya. Si anak pun menghampiri dengan raut wajah yang sudah tak bersahabat lagi. Lalu sang Ayah berkata “nak, lihat dirimu di photo ini. Ini kamu saat berumur 3 tahun. Saat itu kamu sudah mulai berbicara dengan lancar. Ingat tidak nak, saat itu Ayah sedang mengecat tembok dan kamu bertanya ‘Yah, itu burung apa namanya?’. Dan kamu ingat berapa kali kamu menanyakan pertanyaan yang sama pada saat itu? Hampir 20 kali kamu menanyakan pertanyaan itu pada Ayah. Tapi kamu tahu apa yang Ayah lakukan? Ayah tetap bersabar menjawab pertanyaanmu walaupun pada kenyataannya Ayah sangat sebal ketika itu. Tapi karena Allah mengajarkan umatnya untuk tetap bersabar menjalani hidupnya sesulit apapun, Ayah berusaha untuk menjawab pertanyaanmu dengan nada rendah, tidak seperti kamu menjawab pertanyaan Ayah tadi. Wong baru lima kali saja kamu sudah bentak – bentak seperti itu, bilang Ayah pikun lagi. Astaghfirullah..”
Seketika itu si Anak memeluk Ayahnya dengan erat dan dengan tangan yang sedikit kotor akibat memperbaiki motor. “Yah, maafin saya ya. Saya sudah bertingkah buruk tadi. Maaf..”. dan sang Ayah pun menjawab dengan canda khasnya “lalu apa namanya ini. Kamu ko meluk- meluk Ayah dengan tangan bau oli gitu”. “yeee… Ayah nih, Haha.”.
Dari pengalaman itu kita dapat mencontoh suri tauladan yang baik dari sang Ayah. Mungkin di kehidupan yang nyata ini, sengaja ataupun tidak, kita pernah menyakiti hati Ayah bahkan Ibu kita. Namun apapun yang terjadi, Ayah dan Ibu kita selalu bersabar dan menyayangi kita apa adanya dan hanya meminta imbalan ‘kepatuhan’ dari kita. Semoga kisah ini dapat mengantarkan kita menjadi anak yang soleh dan soleha serta dapat berbakti kepada orang tua, walaupun seburuk – buruknya orang tua kita. Amin.
*Diambil dari cerita seorang sahabat yang menyampaikan kisah ini dalam dakwahnya.
Linda 211209