Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Jumat, 06 Mei 2011

Kue Untuk Sahabat


Hari ini hari Selasa, usiaku telah bertambah, genap 16 tahun aku berada di dunia yang fana ini. Dunia yang penuh teka – teki tentang kehidupan. Kehidupan yang tak selamanya bahagia dan abadi.
                Seperti biasa, alarm jam telah berbunyi di pagi hari. Hari ini aku bergegas ke sekolah lebih cepat dari biasanya karena mata pelajaran pertama hari ini dipegang oleh guru terkiller di sekolah. Faktanya, setiap pelajar yang telat memasuki ruang kelas, dia tidak akan dibolehkan untuk mengikuti pelajaran beliau di hari dia telat tersebut. Dua puluh  menit aku datang lebih pagi dari jam masuk sekolah. Gedung sekolah yang biasanya ramai oleh para pelajar berseragam putih abu, untuk saat ini masih dalam keadaan yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk lengkingan suara wanita – wanita yang bergosip.
                Aku bersekolah di salah satu SMA Negeri favorit di Bandung, kota yang indah dan penuh pesona. Walaupun kota ini selalu padat akan kendaraan bermotor saat weekend tiba. Dan yang pasti adalah kemacetan yang hampir ada diseluruh penjurunya, namun aku tetap bangga menjadi warga Bandung, meskipun baru beberapa bulan aku tinggal disini.
                “ Izam!“, terdengar suara orang memanggil namaku dari kejauhan. Ku menoleh kearah suara itu datang. Dan ternyata, dia adalah Al Farisy, sahabat karibku sejak SMP.
                “hey Ris. Tumben kamu datang pagi hari ini. Salah makan obat ya?”
                “ah, ngga juga. Terlalu mengada  – ada kamu. Eh PR fisika udah diukerjain belum? Denger – denger, abis pemeriksaan PR, ada ulangan mendadak lho!”
                “ ko denger – denger sih? Emang ada ulangan tau. Kemana aja kamu di kelas? Tidur aja sih kamu!!”
                “hmm, bukannya nyemangatin aku nih malahan ngejekin gitu. Ayo cepetan ke kelas. Kamu ajarin aku. Mumpung bel sekolah belum bunyi nih”, ajak Faris sambil merangkul pundakku yang notabene lebih tinggi dibanding pundaknya.
                Jam di dinding kelas menunjukkan pukul 06.40, yang berarti lima menit lagi bel masuk berbunyi, sedikit demi sedikit pelajaran Gaya Gesek telah dimengerti oleh Faris. Tak lama setelah aku mengajari Faris, Bu Maria telah memasuki ruang kelas kami, kelas XI IPA 3.
                “selamat pagi anak – anak! Saya akan mengabsen kalian dulu. Supaya perjanjian kita di awal semester bisa berjalan dengan baik. Yaitu, barang siapa yang telat memasuki ruang kelas walaupun hanya selangkah di belakang saya, saya tidak segan – segan untuk menyuruhnya keluar kelas dan tidak mengikuti pelajaran saya serta mendapat nilai kedisiplinan D. paham kalian?”, jelas guru killer itu dengan nada tinggi khas orang Batak.
                “paham bu..”, teriak anak – anak satu kelas.
                Tak lama setelah ikrar perjanjian itu diingatkan, ada suara ketukan pintu kelas yang terdengar sangat lemah. Dari suaranya itu pasti salah satu teman kami yang telat, karena tinggal satu bangku lagi yang belum terisi. Benar saja, itu Andre.
                “selamat pagi bu, maaf saya telat”                                                                                          
                “enak saja kamu minta maaf. Kesalahan kamu itu fatal. Kamu dapat mengganggu kosentrasi saya, dan juga teman – teman yang sedang belajar. Kamu tau kan keputusan saya itu tidak dapat diganggu gugat dengan alasan apapun!”
                “iya bu maaf. Tadi saya mengantarkan bubur untuk ibu saya yang sedang dirawat di rumah sakit. Makanya saya telat masuk ke dalam kelas”, kata Andre sembari menundukkan kepala dan merasa sangat ketakutan.
                “saya tidak mau tau alasan kamu apa. Yang jelas saat ini kamu telat. Keluar kamu dari pelajaran saya sekarang!”, teriak Bu Maria yang hampir menggemparkan anak satu kelas.
                “maaf bu kalau saya ikut campur. Menurut saya, perbuatan ibu itu sangat tidak berkeprimanusiaan. Saya rasa, alasan Andre bisa diterima. Ibu ngga kasihan apa dengan ibunya Andre? Siapa yang disalahkan jika Ibunya kelaparan, dan Andre lebih mementingkan pelajaran ibu? Andre melakukan itu karena dia berbakti kepada ibunya”, aku berbicara sesopan mungkin agar Andre dapat dibebaskan dari hukumannya.
                “ooohh, pintar sekarang kamu ya! Berani dengan saya sekarang. Mau jadi pahlawan kesiangan kamu? Sangat tidak sopan!”
                “dengan segala kerendahan hati saya, saya minta maaf jika ibu tersinggung dengan perkataan saya barusan. Saya hanya ingin membela teman saya. Dia bersekolah disini atas biaya orang tuanya. Ngga berhak juga kan ibu memperlakukan Andre seperti itu. Lagipula Andre telat itu kan beralasan… Untuk teman – teman yang setuju dengan pendapat saya, saya minta untuk berdiri”, lanjutku tanpa basa – basi.
                Serentak teman satu kelasku berdiri, dimulai dari Faris dan diikuti teman – teman yang lain di belakangnya. Alahasil, pembelaanku tadi dapat membebaskan Andre dari hukumannya. Aku tau, Andre bukan anak orang kaya. Tapi dia adalah salah satu anak terpandai di kelas. Bahkan bulan lalu ia berhasil mendapatkan medali perunggu di Olimpiade Sains se-Bandung. Akupun mengikuti perlombaan itu, Alhamdulillah, aku dapat medali emas. Namun itu belum membuatku bangga sepenuhnya. Aku masih ingin mengejar prestasi yang lebih tinggi lagi. Dan salah satu orang terdekatku yang menjadi inspirasiku adalah Andre Hermawan.
                Empat jam pelajaran telah berlalu, saat istirahat telah tiba. Bu Yani, guru Bahasa Indonesia kami mulai meninggalkan kelas. Serentak anak – anak berhamburan keluar dari bangku. Namun tidak seperti biasanya. Mereka mengerumuni bangkuku dengan wajah yang berbinar – binar dan saling bersahutan mengatakan
                “ waaaaah, Izam keren banget. Berani melawan Bu Maria”
                “Zam, sumpah lo gokil abis tadi. Salut buat lo”
“Zam, kamu bener – bener pahalawan sejati!”
applause to Muhammad Izam Mahesa!”
Di tengah – tengah kerumunan anak – anak kelas, aku melihat sosok berparas ayu yang sedang melihatku juga dengan sorotan matanya yang sejuk dan berbinar, dialah Marwah. Ia tersenyum manis semanis buah kurma, membuat siapa pun yang melihatnya terpesona.
“Astaghfirullah, jangan dilihat terus Zam. Ini fitnah mata!” batinku. Dan aku langsung menundukkan pandanganku darinya.
“Izam, makasih ya tadi sudah membelaku. Mungkin kalau tidak ada kamu, aku tidak bisa mengikuti ulangan fisika dan mendapat nilai nol”, kata Andre.
“santai aja Ndre. Berterima kasihlah pada Allah. Karena Dialah yang memberikan keberanian itu padaku. Aku cuma menjadi perantara bagimu”
“Subhanallah Zam, kamu baik banget. Aku senang punya teman sepertimu. Andaikan aku wanita, aku akan mencintaimu setulus hatiku. Haha”, Andre melawak dan itu membuatku merasa bahagia, karena ternyata aku memiliki teman – teman yang sayang dan peduli padaku. Alhamdulillah.
Setengah hari telah ku lewati. Sampai saat ini belum ada satupun orang yang mengucapkan ‘selamat ulang tahun’ untukku. Begitu pun dengan orang tuaku yang tinggal di Bekasi. Aku memang tinggal berdua dengan kakak kandungku di sebuah kosan kecil di gang belakang sekolah. Aku sengaja tidak menggunakan uang yang diberikan orang tuaku untuk menyewa kamar kost yang mahal. Meskipun dari kecil aku selalu dikelilingi oleh kemewahan dunia. Namun aku ingin merasakan hidup seperti kebanyakan orang. Hidup dengan cara yang sederhana namun bahagia dunia dan akhirat. Amin.
Mungkin aku tidak begitu mengharapkan ucapan selamat dari teman – temanku serta keluargaku. Bahkan kalau mereka lakukan itu, aku pasti akan bersedih. Karena waktuku di dunia ini semakin terkikis. Dan kesempatanku untuk membahagiakan mereka tinggal sebentar lagi. Di tengah – tengah lamunanku menuju masjid sekolah untuk sholat dzuhur, tanpa sengaja aku menabrak sesosok wanita berjilbab yang terlihat sedang terburu – buru hingga ia jatuh.
“Inalillahi!”, teriak wanita itu dengan penuh rasa kaget dan kesakitan.
“Marwah! Aduh, maaf banget aku ngga sengaja. Sini aku bantu berdiri”, aku langsung memegang tangannya dan membantunya berdiri tanpa sadar kalau kita bukan muhrim serta membantunya mengambilkan buku – buku pelajaran yang jatuh.
“ ma.. maaf Zam. Ini salahku. Aku ngga hati – hati waktu lari tadi. Aku tersandung batu. Makanya aku nabrak kamu. Sekali lagi maaf ya!”, jelas wanita berparas manis itu sambil menundukkan kepala, tidak berani menatapku. Saking terpesonanya, aku sampai tidak dapat berkata apa – apa. Hanya tatapan kosong yang dapat aku lakukan saat ini. Menatap wajah berserinya.
“o.. oh i.. iya ya. Ngga apa – apa. Ngga masalah. Kamu ngga apa – apa kan? Perlu aku bantu membawakan barang – barangmu?”, tanyaku yang semakin salting. Ya Allah, semoga dia tidak mengetahui aku sedang grogi sekarang.
“makasih banyak Zam, aku bisa bawa sendiri. Sekali lagi maaf ya. Assalamualaikum..”
“wa.. waalaikumsalam warraohmatullahi wabarrokatu..”, jawabku terengah – engah sambil memandanginya hingga tidak terlihat dan tidak tercium harum tubuhnya lagi. Ya Allah, dosakah aku mengagumi ciptaanMu itu? Makhluk terindah yang pernah aku jumpai.
Sesaat setelah itu, aku bergegas sesegera mungkin menuju masjid. Seperti hari – hari biasa, banyak anak – anak Ikaris (Ikatan Remaja Islam) di masjid. Ada yang membaca Al – Qur’an, belajar mengaji, membahas program kerja, mentoring hingga tidur pun mereka lakukan di sini. Aku langsung mengambil air wudhu dan memasuki pintu masjid. Saat aku mulai melangkahkan kaki dan memasuki masjid, aku melihat sorotan mata teman – temanku itu sangat tidak bersahabat. Tidak ada senyum di bibir mereka. Begitupun dengan Faris dan Andre. Aku hampiri mereka
“hey, udah pada sholat belum? Kalau belum, sholat berjamaah yuk! Kamu jadi imamnya ya Ndre!”, ajakku sambil merangkul pundak Andre yang sedang duduk sila dipojok masjid.
“ngga Zam, udah tadi”, jawab Andre ketus.
“kamu kenapa sih Ndre, ko tiba – tiba berubah gini? Salah makan obat ya?!”, tanyaku sambil tersenyum ramah.
“hah, pertanyaan basi ‘kamu salah makan obat ya?’ Dasar ngga kreatif”, celetuk Faris yang duduk disebelah Andre.
Aku semakin bingung dengan keadaan mereka yang tiba – tiba berubah drastis hari ini. Kayanya bener – bener salah makan obat mereka, pikirku.
“aku ngga ngerti makan obat apa kalian tadi. Jadi aneh gini. Yasudah, aku sholat dulu ya!”, aku berlalu dan langsung melakukan niat dan takbiratul ikhrom ‘Allahuakbar’.
“Al Farisy, apa ini ngga terlalu kejam? Ngerjain dia seperti ini? Aku ngga tega melihat Izam dimusuhi”, bisik Andre sekecil mungkin.
“nggalah, ini rencana kita yang baik. Jarang – jarang kan melihat wajah Izam kebingungan, aku sampai heran dengannya. Inget ngga waktu ulangan matematika minggu lalu? Dia sama sekali ngga kebingungan ngerjain soal dari Pak Usep. Alhasil, dia dapet nilai seratus kan? Satu – satunya lagi seangkatan! Nah kita, udah bingung setengah mati dan cuma dapet nilai dua puluh. Makanya ini kesempatan kita buat liat wajah bingungnya yang ngga pernah terlihat dari kita kenal dia! Ngerti ngga?!”
“ohh.. gitu ya. Yaudah ngikut aja! Tapi Cuma hari ini aja kan?”
“iyalah..”, jawab Faris sambil mengerutkan alis kirinya.
“wei, gimana rencananya? Udah berjalan sampai mana?”, Tanya Luthfi, sang empu ide semua ini.
“sssssttt ah! Jangan keras – keras! Ada Izam lagi sholat. Tadi kita udah jutek ke dia. Tapi anehnya, Izam sama sekali ngga kelihatan wajah marahnya. Paling Cuma bingung aja”, jawab Faris dengan tegas namun dengan nada yang sangat kecil.
“hmm. Sip kalau gitu. Gimana sama Nisa? Udah beli kue tar belum?”, Tanya Luthfi lagi.
“duh, ga tau ya kalau itu. Tapi perasaan yang tadi beli kue tuh si Rahmat sama Ilham”, jawab Faris.
“terus uang untuk beli kue jadi dari dana temen – temen. Cukup ngga buat beli kue yang besar?”, kembali Luthfi bertanya.
“duh, aku ngga tau Fi. Nih telpon aja Rahmat. Mungkin dia udah di toko kue sekarang”, jawab Faris sambil menyerahkan Handphone miliknya. Seketika itu Luthfi keluar masjid.
“085745…., Halo Mat, gimana kuenya? Cari yang enak ya! Tapi sesuai budget juga oke!”, Tanya Luthfi dengan nada berbisik.
“iya yah halo. Kue.. beres!! Tapi kita Cuma dapet kue sedengan nih. Gatau cukup gatau ngga kalo buat dibagiin. Haha”
“duh kamu.. bukan itu masalahnya, ini kan buat Izam. Bukan buat kita. Gimana sih?”
“haha, ya maaf, bercanda kawan! Yaudah. Ini udah dapet kuenya. Jadi misi kita jadi nih bikin kejutan di kosannya Izam?”, Tanya Rahmat.
                “iya. Langsung bawa aja ke kosannya. Nanti aku sama anak – anak nyusul. Nanti aku calling – calling lagi deh. assalamualaikum”, pungkas Luthfi.
                “heh Fi, ngapain kamu sendirian?” tanyaku saat hendak memakai sepatu di tangga batas suci masjid.
                “ohh, ngga – ngga. Aku mau pake sepatu kok. Pulang Zam?”, Tanya Luthfi basa – basi.
                “iya, suasana jadi agak ngga kondusif sekarang. Anak – anak pada bersikap aneh secara tiba – tiba. Kenapa ya Fi?”, tanyaku dengan nada yang mulai kebingungan.
                “euh, kecapean kali kamu! Yaudah. Bareng yuk ke depan”, ajak Luthfi.
                “Astaghfirullah. Aku jadi inget. Hari ini aku ada mentoring privat. Duh harus cepet nih”
                “mentoring dimana? Jam berapa mulai? Terus jam berapa selesainya?”
                “mentoringnya di masjid Salman ITB. Sekarang pasti kakak pementornya udah nungguin. Selesai sekitar jam setengah enam. Kenapa nanya? Mau ikut?”, ajakku.
                “ahh, ngga. Eh, sekalian anter aku ke taman salman sebentar yuk!”
                “yaudah sekarang aja. Ayo cepet! Udah telat nih aku”
“ sebentar – sebentar ada yang ketinggalan di masjid. Tunggu bentaaar lagi”, kata Luthfi sambil membuka sepatu yang sudah dikenakannya barusan.
“woy anak – anak. Rencana diralat. Kita kasih kejutan ke Izam sekarang di taman salman. Soalnya Izam ngga akan pulang langsung ke kosannya. Kasih tau anak – anak yang lain ya. Yang mau ikut ajakin sekarang. kalau bisa semuanya ikut biar rame!”, perintah Luthfi ke anak – anak Ikaris.
 “ Fi, cepet. Udah diambil belum barang yang ketinggalannya?”, teriak Izam di pintu masjid.
“iya ya. Udah”, “rencana mulai dilaksanakan”, kata Luthfi.
“Yaudah aku sms Rahmat buat langsung bawa kuenya ke taman salman”, kata Faris
‘Mat, lgsg ke taman salman. Qt ga jd kasih kejutan di kosan Izam. Dy ada mentoring di salman. cepetin ya skrg’. Send.
Sesampainya di taman salman, Luthfi terlihat kebingungan. Aku langsung bertanya,
“kenapa Fi, ko kaya orang panik gitu?”
“hmm, ngga ko. Eh bentar ya aku telpon temen aku dulu”
“oh iya ya”. Kataku sambil mengangguk. Luthfi pun berjalan kearah belakang, di balik pohon yang berada lima meter di depanku.
“halo Ris, kamu dimana?”, Luthfi terlihat menelpon dengan wajah yang sangat khawatir.
“kamu tuh yang dimana. Kita ini udah ada di balik semak tinggi. Di pojok taman. Bawa Izam kesini sekarang!”
“oke – oke”, “Zam! Kesini sebentar”, Luthfi menarik tanganku dan mengajakku berlari kecil kearah semak di pojok taman.
“ada apa sih….”
“KEJUTAAAAANNNN!!!!!”, segerombol teman – temanku mengaggetkanku dari balik semak. Seiring dengan itu, Marwah membawa kue tar coklat yang dihiasai lilin merah berbentuk angka 1 dan 6.
“kalian… untuk apa kalian disini?”, tanyaku heran
“Zam, bercanda lo. Ini kan hari ulang tahun kamu. Masa kamu lupa?”, kata Faris agak kesal.
“ooh, ini untuk aku. Alahmdulillah, aku sendiri sih ngga lupa ulang tahun aku. Tapi aneh aja rasanya. Hahaha. Terus kalian tau aku ulang tahun hari ini dari mana?”
“kamu kan punya facebook Zaaam!. Disitu tertulis hari ini kamu ulang tahun. Heu gimana sih!!”, celetuk Faris lagi.
“ masya Allah. Iya.. yah. Ngga buka facebook dari seminggu yang lalu sih. Jadi ngga ngeh. Hahaha”, kataku sambil tersenyum lebar.
“yaudah kita cari tempat yuk biar langsung dimulai acara tiup lilinya”, ajak Nailil semangat.
kaleum.. kaleum..”, anak – anak serentak berbicara.
Tiba – tiba handphoneku  berdering. Refleks aku mengambil handphoneku  yang ku taruh di saku celana. Aku melihat 1 pesan diterima, itu dari kakak mentorku yang berisi
‘ Assalamualaikum adeku. Maaf kk hari ini ga bs datang, soalnya kk ada urusan yang ga bs ditinggalin. Mentoring kita mulai lagi minggu dpn ya de.. ‘
Seketika itu aku langsung membalas pesannya,
‘ waalaikumsalam ga apa2 ko ka. Lagipula hari ini sy juga sepertinya ga bs ikut mentoring, jadi ga masalah mentoring minggu dpn juga ‘
“kenapa Zam?”, Tanya Faris ingin tau.
“ini.. kakak mentoring ngga bisa dateng. Katanya ada urusan lain. Barusan dia sms gitu ke aku”, jawabku agak kecewa karena tadinya aku ingin merayakan hari ulang tahunku bersama kakak mentoringku yang baik itu.
“yaudah, kebetulan kalo gitu. Langsung duduk yu ah. Dirumput itu aja yuk!” ajak teman – teman yang lainnya.
Kami duduk terbagi dua bagian. Di sebelah kananku dipadati oleh ikhwan (laki – laki) dan disebelah kiriku dipadati oleh akhwat (perempuan) dan tepat di depanku ada kue tar coklat dengan lilin angka 1 dan 6 diatasnya.
“kita mulai acaranya ya. Kita baca basmalah bersama – sama ‘bismillahirrohmaanirrohiim’ ”, kataku dan aku langsung meniup kedua lilin itu hingga padam. Satu persatu bagian kue aku iris dengan pisau yang terbuat dari plastik, entah apa namanya sebutan untuk pisau itu. Yang jelas aku berhasil membagi kue itu menjadi 15 potong kue dengan ukuran yang sama. Satu persatu irisan kue itu aku letakkan di piring kertas kecil.
“ ayooo, first cakenya buat siapa tuh??? “, teman – teman sudah mulai meledekku lagi.
Aku tau maksud mereka adalah agar aku memberikan first cakenya untuk Marwah, wanita yang kukagumi sejak lama. Tapi, itu tidak mungkin. Aku takut membawa perasaanku ke dalam jurang yang sudah jelas Allah melarang lewat firman-Nya. Akhirnya aku melihat sekelilingku, dan kudapati beberapa anak pengamen yang mengamati kita dari tadi. Mungkin ada sekitar tiga orang. Secepat kilat kuputuskan untuk memberikan first cakeku untuk mereka. Aku mulai berjalan untuk menghampiri mereka. Dan merangkul mereka untuk ikut bergabung dengan kami, anak IKARIS yang sedang merayakan ulang tahunku.
“ de… ade namanya siapa, ade mau kue? Ayo kesitu, kakak punya banyak kue tuh. Temen kalian yang lainnya mana? “, tanyaku sambil berjongkok didepan mereka dan memegang pundak salah satu dari mereka.
“ namaku Ari, itu Mimin, trus itu Jaka. kita cuman seginian ka. Palingan ada Aa. Tapi lagi ngamen di simpang jalan sana”, jawab salah satu anak yang berpakaian lusuh itu sambil menunjuk kearah teman – temannya untuk memperkenalkan temannya itu padaku.
“ yaudah sini, kakak ambilkan kue buat kalian”, aku merangkul pundak mereka yang ringkih dan kurus.
“ temen, kenalin ini teman baru aku.. ada Ari, Mimin, dan Jaka. Mereka mau ikut merasakan kebahagiaan kita. Ngga apa – apa kan?”, kataku sehingga membuat teman - temanku terheran – heran. Tanpa berpikir lama mereka pun setuju dengan kedatangan teman baruku itu. Aku menyarankan kepada teman beruku itu agar membawa kue tar ulang tahunku untuk mereka dan keluarganya.
“ temen – temen, berhubung kuenya abis, sekarang kita ke Pizza Hut yuk! aku yang traktir deh”, ajakku dengan semangat ke teman - teman.
Aku melihat salah satu teman akhwatku menangis, aku tidak tau dia kenapa. Begitupun dengan Faris. Matanya sudah mulai berkaca – kaca melihatku yang mulai beranjak dari dudukku. Tiba – tiba mereka berkata
“ subhanallah… “
Dan aku mulai mengerti mengapa mereka menangis.
“ ngga ada salahnya kan kita sedikit berbagi. Aku senang melihat senyuman mereka. Semoga Allah pun senang melihatku tersenyum saat ini “.
Aku mulai berjalan dan mengajak teman – temanku untuk sholat Ashar dan dilanjutkan menuju ke PH, karena aku tau perut mereka telah berkata “saya lapar!!”.
-TAMAT-

Thank’s To:
Terima kasih banyak saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan karunia, kekuatan, dan waktu yang diberikan-Nya saya berhasil menyelesaikan cerpen saya!!, Alhamdulillah..
Terima kasih untuk sahabat IKARIS yang sudah menginspirasi saya. Cerita ini didedikasikan untuk kalian. Meskipun sedikit ‘lebay’ atau ‘norak’, saya harap cerita ini bisa menjadi tauladan untuk kita semua. Amin.
Dan untuk yang berulang tahun saat itu, saya ucapkan “SELAMAT ULANG TAHUN”. Maaf waktu itu saya tidak bisa hadir untuk merayakan ulang tahunmu. Tapi ada si tétéh juragan duren yang cerita tentang kejadian waktu itu, jadi saya terinspirasi banget sama kelakuanmu itu. Maaf juga kalo ceritanya banyak mengalami improvisasi dalam pembuatannya. Saya pikir ini adalah bumbu – bumbu ‘pengharu’ bagi pembaca.
Terima kasih juga untuk orang tua saya di rumah yang mengizinkan saya memakai komputer dirumah dengan waktu yang relative lama dan berkali – kali hanya untuk menyelesaikan satu judul cerpen ini. Makasih Pa, Bu, karena udah bayarin listriknya. Hehe.
Terima kasih untuk anak – anak T’Ah yang udah buat saya terburu – buru untuk menyelesaikan cerpen ini. Yang hampir dua minggu menjadi proyek kerja saya dirumah (selain ngerjain PR dari bapak dan ibu guru di sekolah) karena ada pengumuman lomba cerpen, dan saya ingin mengikuti lomba itu.
Intinya saya mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak – pihak terkait. Semoga berawal dari terselesaikannya cerpen ini saya bisa membuat novel atau banyak lagi cerpen – cerpen yang lain. Haha.
Nb:
Bila ada nama kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun karakter, itu merupakan kesengajaan yang saya buat. Dan apabila ada kritik atau saran silakan kirim ke”

keisukenda@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar